Alkisah, di sebuah
negeri khayangan, berdirilah sebuah istana yang sangat terkenal bernama ISTANA
SANTAI SEJENAK. Di dalam istana ini terdapatlah tujuh bidadari yang cantik
jelita dan sangat terkenal di jagad khayangan. Banyak pangeran yang berlomba-lomba
untuk mendapatkan hati para bidadari ini, tapi tak satu pun yang berhasil
mendapatkan mereka. Alhasil pangeran-pangeran itu cuma bisa gigit jari, namun mereka bertekad
dengan cara apapun harus bisa mendapatkan sang bidadari.
Ternyata, ketujuh
bidadari itu punya tips jitu untuk senantiasa awet muda dan mempercantik diri
mereka. Sebulan sekali mereka wajib turun ke bumi dan mandi di Sungai Sepanjang
Masa yang dipercaya punya khasiat membuat awet muda dan mempercantik bagi
wanita dan memperganteng bagi laki-laki. Seperti sore itu, Bandara
Internasional Khayangan “Mabur Mudun” terpaksa ditutup sementara karena para
bidadari akan turun khayangan menuju Sungai Sepanjang Masa.
“Aduh, senangnya
bisa turun khayangan! Ngga melulu dikurung di istana. Udah ngga sabar
bisa main air,” kata Bidadari Kuning.
“Yuppy!
Makanya dari dulu 17 tahunnya, jadi diizinkan ayah turun ke bumi. Ntar
mainnya jangan kepuasan ya! Kalau hampir gelap segera bersiap-siap pulang kalo
tidak akan kami tinggal,” nasehat sang kakak, Bidadari Violet.
“Oke, kakak!” kata
si bontot, Bidadari Kuning.
“Eh, tas kosmetikku
mana? Kok ngga ke bawa ya? Tadi rasanya aku bawa. . Mana sih?!“ Bidadari
Hijau bingung mencari tas kosmetiknya dan bikin heboh pesawat Mabur Dhewe
Nganggo Selendang Airways.
“Aduh, kowe ki
heboh banget to, Jo! Biasa wae to! Ntar pake punyaku wae! Luweh lengkap! Emang
kapan koe ndue po tas kosmetik?!” kata Bidadari Biru.
“Waduh, Kak Biru
emang pangerten! Sunblock mana, Kak? Sabun cair? Shampoo anti ketombe?
Batu apung? Apa lagi yak........?!?!” Bidadari Hijau sibuk mengobrak-abrik isi
tas kosmetik Kak Biru.
“Walah, Kok
malah diacak-acak ki kepiye jal?!!!!!” gerutu Biru.
Tititit..tiiiitit...tititit...titit...suara
telepon berbunyi. “Say, aku lagi mau turun khayangan nich! Udah ngga
tahan, rambut udah lepek, badan dah lengket-lengket begini.... Wadoh!!!
Iya, besok sore aku pasti datang arisan. Jangan lupa bawa barang
pesenanku.....Apa?!!! Barangnya belum jadi? Gimana seh? Niat jualan ngga
sih??!!” suara Bidadari Pink yang sedang menelpon temannya.
“Aduh, Kalian ini,
Heboh banget?! Mau berangkat pa ngga? Nek emang mau segera turun.
DIAM! Handphone matikan! CEPET! Keburu matahari angslop!” seru
kakak tertua yang punya nama Bidadari Merah marah-marah pada adik-adiknya.
“Ya nich!
Tenang dunk biar lebih cepet sampai dan bisa lama mandinya!” kata
Bidadari Putih.
“Perhatian-perhatian
kepada para bidadari yang akan turun ke bumi, dimohon untuk segera mengenakan
sabuk pengaman dan mematikan TG-nya demi kelancaran penerbangan,” seru Announcer
mengingatkan dari microfon.
“Bagi yang memiliki
penyakit jantung persiapkan obat tidur anda. Bagi Anda yang penakut, silakan
membatalkan penerbangan supersonik yang pasti akan memacu adrenalin Anda. Bagi
Anda yang suka mabuk udara atau penyakit-penyakit mematikan yang lainnya,
dimohon untuk meminum obatnya masing-masing agar tidak menyusahkan selama
perjalanan. Bagi mereka yang tidak membawa obat bisa menghubungi pramugara
kami. Kami juga menyediakan bagor bagi anda yang hobi muntah. Aneka kudapan
khas Sungai Sepanjang Masa telah siap dihadapan anda agar perjalanan Anda lebih
nyaman. Silakan anda nikmati. Perjalanan memakan waktu 15 menit kurang tiga
detik, persiapkan jantung anda sekarang!” kata announcer mengingatkan
lagi.
“WuZZZZZZZZZzzzzzzzhhhhhhh.....”
suara pesawat beranjak turun ke bumi.
*******************************************
“Akhirnya sampai
juga! Ayo serbuuuuuuu!!!” kata Bidadari Kuning.
“Lepaskan dulu
selendangmu! Taruh sana! Pakai kemben aja kalau mau mandi di sini!”
pinta Sang kakak, Bidadari Pink sambil menunjuk semak-samak yang ada batunya
cukup besar.
“Oke, kakak!
Woaaaaaaa!!!” kata Kuning yang sudah tidak sabar untuk bermain air.
ByuuuuuuuR..jebar-jebur..bunyi
air sungai ketika para bidadari mulai memasuki sungai.
Cekikik..cekikikk...cekikik..cekikik...suara
tawa para bidadari yang renyah saat mereka sedang mandi di sungai.
Tidak jauh dari
tempat para bidadari itu mandi, ada seorang pemuda tampan nan gagah
perkasa sedang melakukan pengembaraan. Pemuda itu dikenal dalam sejarah
manusia, bernama Jaka Tarub. Karena tadi pagi mendapatkan sumbangan rendang
jengkol yang super duper pedas dari seorang warga di seberang desa ketika
ia singgah di desa tersebut, sekarang ia mendadak ingin boker. Hasratnya
untuk menunaikan panggilan alam itu pun segera ia tunaikan ketika melihat di
depannya ada sebuah sungai.
“Adoh, udah ngga
tertahan lagi nich! Wah, kok ramai banget sungainya. WoW
vitamin A nich! Cakep-cakep bener nich putri-putri ini? Apa aku
lagi mimpi?” guman Jaka Tarub sambil mengucek-ucek matanya.
“Malu ah
kalau beol di sungai. Di balik batu ini aja kali ya? Iya dah, di sini
aja. Toh masih bisa memandangi putri-putri ini mandi. Lumayan! Suweger! ! !“
Broootttttt...tttttt...suara
alam sang Jaka mulai menjalankan misinya. “Uwah, akhirnya selesai juga!
Njuk le cawik piye? Masa ngga cawik? Wah, kebetulan nich! Ada
kain warna-warni nganggur. Ada putih, , pink, , kuning, , ijo, , ungu, ,
merah, , biru, , pilih yang mana ya wat ngelap? Em, yang kuning aja!
Biar sama warnanya! Trus tinggal dibuang aja, beres!” kata Jaka Tarub yang
tidak tahu bahwa itu milik para bidadari yang sedang mandi.
“Ayo, adik-adik
kita kembali ke khayangan! Hari sudah semakin sore dan matahari sudah hampir
tenggelam. Cepat ambil selendang kalian masing-masing untuk naik ke khayangan
karena tidak ada penerbangan di bumi yang menuju ke khayangan! Buruan! Matahari
sudah hampir tenggelam, hari hampir gelap..ntar kita tersesat lagi di
awan kalau tidak cepat!” kata Kakak tertua mengingatkan.
“Kuning, buruan pakai
selendangmu! Udah ngga keburu nich kalau kamu lama!” seru Bidadari Putih
yang melihat adiknya clingak-clinguk saja.
“Iya, tapi mana
selendangku, Kak!? Kok ngga ada?” kata Bidadari Kuning panik.
“Lha kamu
tadi naruhnya di mana, Ning?! Saking exited-nya pasty kamu tadi
sembarang aja naruh selendangmu ya?” tanya Bidadari Hijau.
“Ngga kuk!
Aku meletakkan selendangku bareng punya kalian kok tadi!” suara Kuning
ketakutan.
“Ya udah, kita ngga
punya banyak waktu! Maaf, Kuning kami harus segera pergi! Kalau tidak kita
semua tidak akan bisa kembali ke khayangan dan ayah akan marah dan
ujung-ujungnya kita ngga akan diizinkan lagi turun ke bumi!” kata
Bidadari Merah.
“Kak, aku tadi
meletakkannya di sini bareng milik kalian! Tapi kenapa ngga ada? Kakak
jangan tinggalkan aku sendiri. Aku baru pertama kali turun ke bumi! Aku ngga
tahu bagaimana keadaan bumi . Kak! Tolong aku!” kata Kuning memelas.
“Iya, kak Merah,
kasihan Kuning jika kita tinggal di sini sendirian,” kata Bidadari Pink.
“Sudahlah, ayo, Kak
Merah kita segera naik ke khayangan! “ bujuk Bidadari Biru.
“Ayo bergegas! Kita
berangkat! Kalau yang mau tetep di bumi dan membuat ayah murka, silakan tinggal
bersama Kuning!” kata Merah.
“Adik, maafkan
kami. Kami harus pergi! Setelah di khayangan akan kami cari cara membawamu
pulang tanpa selendangmu. Berhati-hatilah! Good Luck yah!” kata Bidadari
Putih.
“Kami pergi dulu,
Dik Kuning!” kata para bidadari serentak.
Di balik
semak-semak, Jaka Tarub yang sedari tadi melihat tragedi itu benar-benar merasa
bersalah. Kenapa ia memakai kain kuning yang ternyata adalah milik Bidadari
Kuning dan melemparnya di semak-semak sehingga para bidadari itu tidak dapat
menemukannya. Ia benar-benar tidak sengaja melakukan ini semua. Sebagai penebus
rasa bersalahnya ia kemudian mendekati Bidadari Kuning itu. Dan beginilah jika
seorang Jaka Tarub menghadapi wanita.
“Maaf, Kenapa adik
hampir malam begini masih berada di tengah hutan? Apakah gerangan yang adik
lakukan?” kata Sang Jaka.
“Aku sedang sial!
Baru pertama kali datang ke bumi sudah harus mendapatkan cobaan seberat ini.
Aku ngga bisa pulang ke khayangan. Aku bingung! Aku harus bagaimana? Di
mana selendangku? Siapa yang telah iseng mengambilnya dariku?“ jelas
Kuning panjang lebar tentang asal usul dan kejadian yang baru saja dialaminya
sambil menangis tersedu-sedu.
“Sudahlah Tuan
Putri, sebaiknya Tuan Putri ikut dengan saya saja. Berbahaya malam-malam ada
dalam hutan sendirian. Kalau tiba-tiba ada singa, ular kobra atau harimau yang
tiba-tiba datang bagaimana? Belum lagi kalau ada perampok atau garong yang
tiba-tiba mendekati Tuan putri, saya tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya
nanti, “ kata Jaka.
“Tapi aku tidak
punya siapa-siapa! Kakak-kakakku saja tidak peduli dengan nasibku!” kata
Kuning.
“Jika Tuan Putri
tidak keberatan, Anda bisa ikut dengan saya mengembara. Daripada anda di sini
sendirian? Ya, itu kalau Tuan Putri tidak keberatan. Kalau keberatan ya biar
saya bantu membawakan. he..he..he..” kata Jaka mencoba membuat lelucon.
“Tetapi aku belum
mengenal siapa Anda, bagaimana kalau...” kata Kuning ragu.
“Perkenalkan, nama
saya Jaka Tarub, Siapa nama Anda, Tuan Putri? “ katanya sambil mengulurkan
tangannya pada Bidadari Kuning.
“Namaku Kuning. Di
khayangan aku dipanggil Bidadari Kuning!”
“Ow, Kuning? !
Bagaimana, maukah Anda ikut dengan saya. Tidak perlu khawatir, saya tidak akan
macam-macam dengan Anda, percayalah,” kata Jaka mencoba meyakinkan Kuning.
“Baiklah, Tuan
Jaka, aku akan ikut dengan Anda!”
“Panggil aku Jaka
saja, biar lebih akrab,”
“Baiklah, Jaka!”
***********
Setelah hampir enam
bulan lamanya Kuning mengikuti pengembaraan Jaka ke berbagai tempat dan
hubungan di antara keduanya semakin akrab dan intim, maka pada suatu hari Jaka
memutuskan untuk berbicara tentang sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya
kepada Kuning. Waktu itu mereka sedang singgah di sebuah daerah di tepi pantai.
Dan sore itu keduanya sedang duduk terdiam di bibir pantai.
“Suasana senja
seperti ini mengingatkan aku pada kakak-kakakku. Aku kangen pada mereka. Aku kangen
ayah ibuku di khayangan. Entah bagaimana aku bisa bertemu mereka lagi. Aku ...”
isak Kuning.
“Sudahlah, Dik
Kuning. Tidak udah kau pikirkan lagi masa lalumu. Sekarang mari kita pikirkan
masa depan kita. Sudah hampir enam bulan ini kita bersama dan aku merasa kita
memiliki banyak kesamaan sifat. Aku juga sangat nyaman jika ada kamu
disampingku. Aku sudah lama membujang. Usiaku juga semakin tua. Maukah kamu
menjadi istriku? Setelah kita menikah nanti aku janji akan membuatmu bahagia
dan melindungimu dari marabahaya. Aku juga bersedia menghentikan hobiku untuk
berkelana dan hidup denganmu. Membangun rumah agar kamu tidak perlu capek
mengikutiku berkelana. Kita tinggal di sini saja. Dekat dengan laut. Mudah
untuk mencari makan. Pemandangan di sini juga sangat indah. Deburan ombak dan
pasir putihnya membuat kita damai jika berada di sini. Bagaimana? Maukah kamu
menghabiskan sisa hidupmu bersamaku?” pinta Jaka sambil menatap gadis di
sampingnya itu.
“Aku,,Baiklah..aku
bersedia menjadi istrimu, Kang jaka!”
Pernikahan antara
Jaka Tarub dan Bidadari Kuning pun terlaksana jua di Desa Suka Ikan yang
letaknya tidak jauh dari pantai. Mereka kemudian menetap di desa tersebut
setelah menikah. Sifat supel yang dimiliki Jaka membuat ia dengan mudah
mendapatkan simpati dari warga. Pembuatan rumah pun didapat Jaka secara gratis.
Warga sekitar rela bergotong royong membuat rumah bagi Jaka dan Kuning.
********
Setelah satu tahun
menikah, akhirnya Kuning melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan. Anak
itu mereka beri nama Putra Samudera Kehidupan. Mereka berharap anaknya itu bisa
menjadi seorang pelaut yang mampu mengarungi berbagai benua.
“Dik Kunim,
akhirnya kita memiliki putra yang sangat tampan! Itu karena bapaknya yang
ganteng kan?” kata Jaka.
“Iya, karena sumbangan
ibunya yang cantik juga makanya Samudera tampan. Lalu tadi kangmas bilang apa?
Kunim? Siapa Kunim? Selingkuhan kakang ya?!!!!” kata Kuning tidak mau kalah.
“Duh, istriku ini.
Kalau marah jadi semakin cantik. Kunim kepanjangan dari Kuning Imut. ha..ha..ha..”
Jaka merajuk.
“Bisa ajah, Kakang
Jaka ini! Gombal wewe!!!!” Kuning tersipu malu.
********
Sementara itu di
tempat lain, Kakak-kakak Kuning, para bidadari sedang bingung mencari
keberadaan Kuning. Setiap mandi di Sungai Sepanjang Masa mereka selalu berharap
kalau adik terkecilnya itu akan menemui mereka, tetapi setelah bertahun-tahun,
harapan itu tidak pernah terlaksana.
Pada suatu hari
ketika mereka mandi di sungai, tiba-tiba ada sebuah selendang kuning yang sudah
robek-robek dan agak usang warnanya. Spontan, Bidadari Hijau yang tidak sengaja
mendapatkannya pun teriak, “Loh..loh..loh..Bukannya ini selendang si Kuning?”
“Coba liat!” kata
si Merah.
“Iya, Kak Mer, itu
memang punya adik Kuning!” kata Bidadari Pink.
“Lantas, di mana ia
sekarang?” tanya Bidadari Putih.
“Bagaimana kalau
kita cari Kuning. Senyampang hari masih belum terlalu sore! Bagaimana?” usul
Bidadari Ungu Violet.
“Aku setuju dengan
ide kak Ungu!” seru Bidadari Putih.
“Baiklah, mari kita
cari!” seru Bidadari Biru.
“Apapun yang
terjadi kita jangan sampai berpisah. Waspada kalau ada apa-apa nanti selama
mencari Kuning. Ketika hari sudah mulai gelap, segera pulang ke khayangan!”
kata Merah memberi instruksi pada adik-adiknya.
Hingga hari hapir
gelap, tapi pencarian terhadap Kuning tidak menemukan hasil. Berbulan-bulan
pencarian ini dilakukan selepas bidadari-bidadari ini mandi di Sungai Sepanjang
Masa, sampai pada suatu hari secara tidak senagaja Bidadari Merah melihat ada
bekas goresan di pohon kelapa bertuliskan, “AKU BENCI PADA KALIAN YANG TELAH
MENELANTARKAN AKU. AKU MERINDUKAN ISTANA SANTAI SEJENAK! AYAH..IBU..”
“Lihatlah! Bukankah
ini tulisan si Kuning?” kata Merah.
“Ya, aku juga yakin
itu tulisan Kuning! Hobinya memang menulis di pohon kan waktu di khayangan?”
kata Bidadari Biru.
“Berarti ia ada di
sekitar sini. Paling tidak ia pernah singgah di tempat ini! Ayo kita cari!”
kata Bidadari Pink.
Mereka kemudian
mencari bidadari Kuning, adiknya. Sampailah mereka pada sebuah gubuk yang
didalamnya terdengar suara bayi yang meraung-raung. Ada seorang wanita yang
sedang menyusui anaknya. Dari belakang para bidadari itu dapat mengenali siapa
wanita itu.
“Kuning!?” panggil
Bidadari Pink.
Yang dipanggil pun
menyahut. “ Kakak!? Kenapa kakak ada di sini?”
“Ceritanya panjang!
Ayah dan ibu sangat merindukanmu! Ayah sekarang sedang sakit keras. Sudah
hampir setahun ini ayah sakit! Ayah merindukanmu, Dik!” kata Bidadari Biru.
“Tapi sekarang aku
tidak bisa pergi, Kak! Aku sudah menikah dengan Kakang Jaka Tarub. Seorang
pemuda yang telah menolongku saat kalian meninggalkanku di hutan dua tahun yang
lalu. Aku sekarang juga telah memiliki anak, aku ngga bisa meningglkan
mereka!” kata Kuning.
“Jadi kamu lebih
memilih mereka dari ayahmu sendiri?” kata Bidadari Hijau.
“Maaf, tapi aku tidak
bisa pergi tanpa izin dari suamiku, dosa, Kak. Suamiku sedang melaut sekarang.
Paling tidak tunggulah sampai ia pulang!” kata Kuning.
“Sudahlah! Jangan
banyak alasan. Ini selendangmu sudah kami temukan! Segera pakai dan kita
pulang!” bentak Merah.
“Tidak! Aku tidak
akan pergi!” jawab Kuning tegas.
“Seret dia! Paksa
ia pakai selendang kuningnya!” kata Merah.
“Tidak! Aku tidak
mau pergi bersama kalian! Jangan pisahkan aku dengan anakku!” Kuning meraung
meminta pertolongan.
“Ayo kita pulang!
Segera terbang sebelum hari menjadi gelap! Kita ngga punya banyak
waktu!” kata Bidadari Hijau.
“Tolong!
Tolong!Tolong!” Kuning meronta karena dipisahkan dari Samudra, anaknya.
“Weh, mau dibawa ke
mana Non Kuning?!! Tolong...Tolong...Tolong...!!” kata seorang warga yang
kebetulan melihat penculikan itu. Bapak itu berusaha membantu, tetapi Kuning
dan kakak-kakaknya sudah keburu terbang.
“Duh, betapa malang
nasibmu, Nak!” kata bapak tetangga itu sambil menggendong Samudera.
*******
Sore harinya,
ketika Jaka kembali dari laut, ia benar-benar terkejut melihat rumahnya sepi.
Biasanya ketika ia pulang melaut, pasti Kuning akan menunggunya di depan rumah
sambil menggendong Samudera. Senyuman dari bibir Kuning akan membuat rasa cape
Jaka setelah seharian melaut hilang seketika. Tiba-tiba.
“Ini Anakmu, Jaka!
Tadi istrimu diculik oleh enam orang bidadari. Istrimu dibawa terbang oleh
mereka!” kata Bapak tetangga yang tadi kebetulan melihat kejadian tadi siang
sambil memberikan Samudera kepada Jaka.
“Pasti mereka bidadari-bidadari
itu. Mereka akhirnya bisa menemukan Kuning,” guman Jaka Tarub. “Terima kasih,
Pak!”
“Sebenarnya apa
yang terjadi?” tanya bapak tetangga itu.
“Istriku adalah
bidadari dari khayangan. Sewaktu ia sedang mandi di bumi, aku mencuri
selandangnya dan membuangnya. Aku tidak tahu kalau itu miliknya. Selama ini aku
tidak pernah jujur padanya kalau aku yang mengambil selendang itu. Mungkin ini
karma bagiku. Sekarang kamu ngga akan pernah melihat ibumu lagi,
Samudra,” kata Jaka sambil menimang Samudera, anaknya. Tanpa terasa air matanya
meleleh dan mengenai pipi Samudra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar